Suatu hari, saya ngobrol
dengan seorang sahabat yang berprofesi sebagai
pendidik. Iseng saya bertanya, “Dari sekian banyak peserta didik, siapakah yang paling Anda kenal dan ingat?” Spontan ia menjawab, “Siswa yang paling pandai dan siswa dengan kemampuan di bawah rata-rata.” Jawaban yang sangat simpel dan saya yakin Anda juga sepakat dengan jawaban tersebut.
pendidik. Iseng saya bertanya, “Dari sekian banyak peserta didik, siapakah yang paling Anda kenal dan ingat?” Spontan ia menjawab, “Siswa yang paling pandai dan siswa dengan kemampuan di bawah rata-rata.” Jawaban yang sangat simpel dan saya yakin Anda juga sepakat dengan jawaban tersebut.
Dalam bidang apa pun,
keberadaan manusia selalu dikategorikan menjadi tiga, yakni: manusia
dengan kemampuan di atas rata-rata; manusia dengan kemampuan
rata-rata; dan manusia dengan kemampuan di bawah rata-rata.
Manusia dengan kemampuan
rata-rata sudah teramat banyak bertebaran di muka bumi ini, sehingga
susah kita mengenal apalagi mengingatnya. Jadi,
jangan tambah lagi
populasi mereka! Dengan demikian hanya ada dua pilihan tersisa:
menjadi manusia dengan kemampuan di atas rata-rata dan menjadi
manusia dengan kemampuan di bawah rata-rata. Semua pilihan ada
konsekuensinya. Dan saya yakin Anda sudah lebih paham dari saya untuk
tahu dan melihat konsekuensi dari dua pilihan tersisa itu.
Dalam dunia kerja juga
begitu, setiap perusahaan akan melakukan evaluasi terhadap
karyawannya, namun yang selalu mendapat “perhatian” lebih hanya
mereka yang mampu tumbuh di atas rata-rata dan mereka yang tumbuh di
bawah rata-rata (atau bahkan tidak tumbuh sama sekali). Bagi mereka
yang tumbuh di atas rata-rata, perusahaan akan melakukan evaluasi
terkait dengan fasilitas dan tunjangan yang pantas untuk diberikan,
bahkan beberapa perusahaan akan memberi reward khusus bagi
mereka – sebagai apresiasi atas prestasi yang dicapai. Sedangkan
bagi mereka yang tumbuh di bawah rata-rata, perusahaan akan sibuk
melakukan evaluasi, “Di mana sebaiknya orang ini pantas untuk di
tempatkan atau kapan sebaiknya ia dikeluarkan?!”
Simpel sekali 'kan?!
Salam,
@kangwiguk
Reward? ya barang kali masih ada perusahaan yang seperti itu. Walau fakta dilapangan, pekerja cenderung menjadi boneka mainannya saja. Reward ya mungkin untuk perusahaan yang bekerja secara profesioanl dengan sistem dan kepalanya yang baik.
BalasHapusKadang mengharapkan Reward kalau didasari karena ingin mendapat sesuatu dari sesama cuman bikin cape hati. Mending memberi Reward dari pada menerimanya. Walau kecil tapi buat orang lain senang itu @Luar Biasa. :) - keep blogging kang
Kenyataannya barangkali memang begitu, Kang...
HapusTapi kembali kepada diri kita sendiri, kenapa kita mau dijadikan "boneka" oleh perusahaan yang tidak profesional? Jawabannya, karena kita memang belum mampu untuk menjadi seorang pekerja yang profesional, kita tidak memiliki kemampuan lebih sehingga punya "nilai jual".
Kuncinya, tetap perbaiki kualitas diri kita sendiri secara terus menerus. kontinyu dan konsisten. Percayalah! karir, jabatan, juga kesejahteraan akan mengikuti kita seiring dengan peningkatan kualitas kita itu.
Saya juga sependapat, jangan mengharapkan reward kepada sesama manusia cuma bikin sakit hati. Mending taruhlah harapan itu kepada yang memiliki hidup kita, insyaallah kita tak akan pernah dibuat kecewa. Bukankah sebaik-baik pemberian adalah yang datangnya dari Tuhan?
Terima kasih ya, Kang, atas kunjungannya.
Salam