Dulu, saat saya melamar
pada salah satu agen properti di Surabaya dengan
membawa selembar
ijazah SMA - padahal jelas disitu ditulis 'minimal S-1 dengan IPK
min 3.0'' – orang-orang pada mengatakan bahwa saya adalah orang
yang hebat dan berani. Padahal saya tidak merasa seperti itu. Justru
sebaliknya saya merasa bukan apa-apa karena masih banyak orang lain
yang jaaaa...uuhh lebih hebat lagi. Dan salah satunya adalah sahabat
saya. (Sebaiknya tidak usah menyebut nama).
Menurut kisahnya, ia anak
kedua dari enam bersaudara. Orangtuanya bekerja sebagai buruh tani.
Menghidupi dan membiayai enam orang anak tentu merupakan tantangan
tersendiri bagi mereka. Apalagi dengan pendapatan yang tidak menentu.
Tergantung pada ada tidaknya orang yang mempekerjakannya. Jika
melihat latar belakangnya itu, bisa tamat SMP tentu sudah prestasi
tersendiri bagi sahabat saya itu.
Atas dorongan
orangtuanya, maka berangkatlah ia dari Grobogan, Jawa Tengah menuju
kota terbesar kedua di Indonesia, yakni Surabaya, untuk mencari kerja
demi perbaikan ekonomi keluarga. Tekadnya bulat, meski sedikit ada
unsur keterpaksaan. Maklum usianya waktu itu bisa dikatakan masih
sangat belia, sekitar 16 tahun, apalagi hanya berbekal ijazah SMP
(saja). “Sebuah bekal yang jauh dari cukup untuk bisa 'membeli
mimpi' di Surabaya,” menurut saya.
Maka diterimalah tawaran
kerja sebagai cleaning services di sebuah klinik
pengobatan di kawasan Surabaya Barat. Rasanya ini sudah merupakan
anugerah yang lebih dari cukup untuk seseorang yang berbekal ijazah
SMP, mengingat dialah satu-satunya karyawan yang berijazah SMP di
klinik tersebut. Lantas, apakah ia sudah merasa puas dengan
pencapaiannya itu?! Tentu saja tidak, apalagi harus berbagi gaji
dengan keluarganya di Grobogan. Maka terpikirlah olehnya untuk
mencari kerja sampingan. Tapi kerja apa? Tenaganya sudah terkuras
habis sepanjang hari untuk bersih-bersih klinik yang lumayan luas
itu, belum lagi kalau dapat tugas tambahan membersihkan gereja yang
berada persis di samping klinik. Ditengah-tengah kebingungannya
itulah ia berpikir untuk belajar mengemudikan mobil, lantaran ia
melihat pengemudi mobil ambulans klinik sering mendapat uang tip dari
pasien. Tekad sudah bulat, layar pun sudah terlanjur terkembang, maka
habislah separo gajinya untuk membayar biaya kursus mengemudi.
Begitu ia sudah memiliki
ketrampilan mengemudi maka naiklah jabatannya sebagai pengemudi
ambulans cadangan – hanya jika pengemudi utama berhalangan –
pekerjaan utamanya tetap sebagai cleaning services. Dari
sinilah ia sering antar jemput pasien yang rata-rata dari keluarga
berada dengan tingkat pendidikan yang tinggi pula. Selain sering
mendapat uang tip dari keluarga pasien, ia juga mendapat inspirasi
untuk melanjutkan pendidikannya. Maka diikutilah program pendidikan
kejar Paket C hingga ia dinyatakan lulus dan mendapat ijazah
setingkat SMA. Dan berbekal ijazah inilah ia mencoba melamar kerja ke
tempat lain hingga suatu saat ia diterima bekerja di salah satu
perusahaan farmasi berskala nasional. Sekian tahun malang melintang
di industri farmasi, kini ia beralih profesi menjadi sales
marketing untuk alat-alat kesehatan dengan jabatan terakhir
sebagai supervisor marketing. Tentunya, ini adalah pencapaian
yang sangat luar biasa baginya. Tidak sampai berhenti di situ saja,
dua tahun yang lalu ia baru pulang umroh. Hebat 'kan?!
Begitulah, orang hebat
tidak pernah menggerutu dan menyalahkan keadaan, melainkan ia selalu
bersemangat untuk mencari peluang dan menciptakan peluang demi
kemajuan dirinya.
Salam,
@kangwiguk
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah berkunjung ke blog saya. Masukan, saran, dan kritik dari Anda sangat berarti bagi saya.
Silahkan tinggalkan komentar Anda di sini...