Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
bahwa jumlah pengangguran di Indonesia hingga akhir Februari 2013 tercatat
sebesar 7,17 juta orang. (sumber: kompas.com, 6 Mei 2013). Hal
ini ditengarai karena sempitnya lapangan kerja. Jumlah pengangguran tidak
sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. “Untuk bisa sekolah saja
susahnya minta ampun. Lha sekarang sudah lulus sekolah, nyari kerja ternyata
lebih susah lagi,” begitu komentar salah satu tetangga saya yang
kebingungan karena anaknya yang baru lulus sekolah menengah belum juga mendapat
pekerjaan, meski telah melamar berulang kali.
Pertanyaannya sekarang, benarkah
mencari kerja itu susah?
Sekarang, coba kita amati, di
berbagai kesempatan, bursa kerja atau job fair digelar
di mana-mana, baik yang diadakan oleh dinas pemerintah terkait maupun swasta.
Dan sebanyak itu pula, kegiatan ini selalu dibanjiri pengunjung, baik mereka
yang memang tengah membutuhkan pekerjaan karena benar-benar belum bekerja atau
mereka yang sudah bosan dengan profesinya dan hendak mencari profesi lain yang dirasa lebih
menjanjikan masa depan yang lebih cemerlang. Tak jarang lho, kegiatan ini
mengharuskan para pengunjungnya untuk membeli tiket terlebih dahulu
– layaknya menonton sebuah pertandingan sepakbola. Meski begitu, tetap saja
pengunjungnya berjubel. Melihat antusiasme pengunjung seperti itu, agaknya
kegiatan ini bisa menjadi lahan bisnis tersendiri. Ayo, siapa mau mencoba?
Coba kita cermati lagi. Di satu sisi
orang bingung mencari kerja, namun di sisi lain perusahaan juga dilanda
kebingungan dalam menentukan (memilih) calon tenaga kerjanya.
Melihat kontradiksi ini, ternyata
jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia bukan sebagai satu-satunya biang
permasalahan banyaknya jumlah pengangguran di negeri ini. Banyaknya kegiatan
bursa kerja adalah sebuah pertanda baik, bahwa lapangan pekerjaan selalu
tersedia setiap saat dan kebutuhan akan tenaga kerja ini ternyata belum mampu
dipenuhi oleh masyarakat kita. Entah apa masalahnya? Bisa jadi karena para
pencari kerja itu yang tidak (kurang) qualified – mereka
tidak memiliki standar kualifikasi sebagaimana yang dibutuhkan oleh perusahaan
pencari kerja. Atau bisa juga sebaliknya, perusahaanlah yang tidak memiliki
standar sebagaimana yang diharapkan oleh pencari kerja. Misal: perusahaan
pencari kerja dirasa kurang bonafid, bidang pekerjaan tidak sesuai dengan
keahlian si pencari kerja, atau juga bisa karena gaji yang ditawarkan masih
sangat jauh dari yang diharapkan. Intinya, idealisme para pencari kerja belum
dapat diakomodir oleh perusahaan pencari tenaga kerja. Bagaimana menurut Anda?
__________________________________________
Perusahaan
bonafid hanya akan menerima karyawan dengan standar kualitas yang tinggi, ini yang perlu dicamkan
__________________________________________
Meski begitu, menurut hemat saya ada
baiknya jika para pencari kerja-lah yang harus memperbaiki kualitas dirinya. “Berusahalah
untuk memantaskan diri Anda, maka perusahaan pencari kerja pun akan
'menghargai' Anda sesuai dengan kualitas yang Anda miliki,“ begitu kurang
lebihnya.
Mencari kerja itu hampir mirip-mirip
dengan mencari pasangan hidup. Jika seorang laki-laki memiliki standar kualitas tersendiri bagi calon
pasangannya, maka pihak perempuan kurang lebih juga begitu. Mereka memiliki
standar tersendiri bagi calon pasangan hidupnya. Diri kita adalah gambaran dari
pasangan hidup kita. Artinya, jika kualitas pribadi kita baik
maka insyaallah (calon) pasangan kita juga baik, berlaku pula
sebaliknya, jika tabiat kita buruk maka kurang lebih (calon) pasangan kita juga
mirip-mirip seperti itu pula. Laki-laki yang baik akan mendapat perempuan yang
baik dan laki-laki jahat akan mendapat perempuan yang jahat pula.
“Perempuan-perempuan keji untuk
laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang
keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik,
dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).” (QS.
An- Nur [24]: 26).
Pun demikian dalam dunia kerja.
Perusahaan bonafid hanya akan menerima
karyawan dengan standar kualitas yang tinggi, ini yang
perlu dicamkan. Untuk itu, jangan terlalu memikirkan tentang berbagai persoalan
yang ada di luar diri kita, tapi sebaliknya, kitalah yang harus memikirkan kualitas pribadi kita. “Apakah
kualitas diri saya sudah
pantas untuk menjadi karyawan di perusahaan itu? Apakah saya sudah memiliki
kemampuan yang layak untuk menduduki posisi jabatan seperti yang saya harapkan?
Apakah saya pantas untuk digaji dengan nilai sebesar itu?”
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya dipikirkan dan disiapkan oleh
siapa saja yang hendak memasuki dunia kerja. Bukankah Allah memberi kita tidak
lebih dari apa yang sudah kita usahakan?
enaknya sh menciptakan lapangan kerja, pun usahanya yang susah :)
BalasHapusLebih sulit lagi kalau tidak punya skill dan ijazah
BalasHapus